Upaya menambal kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) lewat sektor pajak, terus dilakukan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Surakarta. Kali ini giliran para pengusaha kuliner bakso, sate, dan soto yang akan mendapat sosialisasi terkait pajak restoran.
Kepala Bapenda Kota Surakarta Tulus Widajat menuturkan, banyak pengusaha kuliner yang belum mengetahui kriteria usaha yang bisa dikenakan pajak.
“Karena namanya pajak restoran, sehingga mereka mengira kalau yang ditariki pajak itu hanya usaha yang bangunannya bagus. Padahal bukan itu,” ujarnya saat sosialisasi transaksi pajak restoran secara online yang digelar Bapenda Kota Surakarta di Ballroom Paragon Hotel, Rabu (23/11).
Sesuai regulasi, kriteria usaha kuliner yang masuk sebagai wajib pajak antara lain memiliki beberapa syarat utama. Mereka yang akan masuk kriteria untuk dikenakan pajak restoran, antara lain menyediakan makan-minum, tempat duduk, alat makan, dan omzetnya minimal Rp 7,5 juta per bulan.
“Sesuai regulasi tidak dijelaskan bentuknya bangunan, tapi ditekankan terhadap omzetnya. Jadi walau mereka PKL (pedagang kaki lima), kalau memenuhi syarat berarti masuk wajib pajak,” tegas Tulus.
Mungkin mereka tidak tahu, sehingga ini tugas kami untuk menyosialisasikan terkait regulasi terkait pajak restoran ini. Selama ini mereka merasa yang ditarik pajak itu (rumah makan, Red) yang memiliki gedung,” ujarnya.
Pasca sosialisasi, diwacanakan separo dari peserta akan dipasangi alat terminal monitoring device (TMD) di lokasi usahanya. Kedepannya akan dilakukan pengawasan dan evaluasi pasca pemasangan alat.
“Karena ini juga salah satu sub program KPK. Semua usaha yang memenuhi sejumlah syarat tersebut, harus dipasang alat TMD,” ujarnya.
“Namun kami dari pemkot tidak mau gegabah. Tetap kami ambil sampel dulu, sambil terus dilakukan evaluasi. Terutama untuk penggunaannya. Karena untuk alat yang dipasang di lapak PKL, berbeda dengan yang ada di bangunan permanen,” jelas Tulus.
Lalu bagaimana ketika sewaktu-waktu omzet usaha tersebut mengalami penurunan? Tulus menuturkan si wajib pajak tidak perlu membayarkan pajak restoran di bulan saat terjadi penurunan omzet tersebut.
”Makanya dengan alat ini, para pengusaha akan dimudahkan untuk self assessment. Mereka bisa menghitung sendiri berapa omzetnya setiap bulannya,” ungkapnya.
”Kemudian ketika nanti mereka tidak bayar pajak, akan terlihat kenapa alasannya. Dari alat tersebut nanti sudah kelihatan. Kalau ada yang dirasa janggal, baru nanti ada tim yang akan kroscek di lapangan,” pungkas Tulus.
Sementara itu, Bank Jateng sebagai penyedia alat TMD siap melakukan support penuh kepada pemkot terhadap program ini. Hal ini ditegaskan Pimpinan Bank Jateng Cabang Koordinator Surakarta Djaka Nur Sahid yang juga hadir langsung dalam sosialisasi kemarin.
Djaka menjelaskan, kerja sama penyediaan alat TMD ini sudah berjalan sejak dua tahun terakhir. Sedikitnya ada 250 alat yang didistribusikan di Kota Bengawan.
“Dibagi dua tahap. Pertama 103, dan kedua 147. Sudah terpasang di beberapa lokasi usaha wajib pajak, seperti hotel, resto, hingga tempat hiburan,” ujarnya.
Dijelaskan Djaka, apabila pada dashboard monitoring alat tersebut mati, tim unit reaksi cepat akan terjun ke lokasi untuk melakukan pengecekan. Andai alat TMD terdeteksi mati, biasanya disebabkan beberapa faktor. Mulai dari gangguan jaringan, atau karena kerusakan alat.
“Bisa juga karena SDM yang tidak bisa mengoperasikan alatnya,” jelasnya.
Diungkapkan Djaka, dengan adanya alat ini tentu akan lebih mudah pengawasannya. Termasuk dalam sisi transparansi yang akan lebih jelas, lebih efisien, dan tingkat kebocorannya minimal. Tidak kalah penting tentu akan memudahkan wajib pajak. Dimana mereka bisa melakukan pembayaran pajak secara real time, dan langsung masuk ke rekening kas umum daerah (RKUD).
“Memudahkan pelanggan juga. Jadi para pembeli juga tahu, kalau mereka makan itu berarti berkontribusi terhadap pajak. Ini memberikan rasa kenyamanan dan kepastian dari konsumen,” urai Djaka.