Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Surakarta menggelar sosialisasi pajak daerah untuk pajak restoran di Solo Paragon Hotel & Residences, Selasa-Rabu (15- 16/11). Dihadiri 230 peserta.
Bapenda mengajak pelaku usaha restoran dan sejenisnya untuk tertib membayar pajak. Sosialisasi pajak daerah untuk pajak restoran ini dilakukan karena adanya perubahan aturan. Tepatnya pengategorian yang berhubungan dengan pajak restoran di UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Oleh sebab itu Bapenda Surakarta menggandeng sejumlah pihak untuk menggelar sosialisasi. Seperti pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah, Kejaksaan Negeri Surakarta, dan Per himpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Sosialisasi ini dilakukan untuk memberikan materi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam sosialisasi itu, 130 peserta yang merupakan pengusaha restoran, cafe, warung makan, hingga pedagang kaki lima (PKL) yang omzetnya di atas Rp 7,5 juta perbulan diberikan arahan terkait aturan baru.
Di mana hasil aturan baru itu adalah sebelumnya mereka tidak dikenakan pajak, namun ke depannya akan menjadi wajib pajak. Oleh sebab itu sosialisasi penting dilakukan, mengingat pajak restoran di Solo mencakup 16 persen dari keseluruhan pendapatan daerah dari sektor pajak. Yakni mencapai Rp 485,7 miliar pada tahun ini.
“Ini penting disosialisasikan, karena berkaitan dengan pelaksanaan di masa mendatang. Jadi ada beberapa kategori penjualan, penyerahan, konsumsi barang, hingga jasa tertentu, nantinya akan masuk golongan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). PBJT meliputi lima jenis, yakni makanan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, hingga jasa kesenian dan hiburan. Semua kategori ini masuk PBJT yang akan dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang atau jasa tertentu,” ungkap Kepala Bapenda Surakarta Tulus Widajat, Rabu (16/11).
Fungsional Penyuluh Pajak, Kanwil DJP Jawa Tengah II Timon Pieter men jelaskan, kategori restoran itu mengalami perubahan. Di mana definisi restoran masa kini tidak hanya yang memiliki bangunan mewah, namun juga bisa pada bentuk warung makan, warung tenda, atau sejenisnya yang menyediakan makanan atau minuman di tempat.
Objek pajaknya ini ada dua, yakni pajak restoran jika melayani makan atau minum ditempat, dan PPN jika hanya menjual makanan atau minuman.
“Yang saat ini masih berlaku adalah omzet Rp 7,5 juta perbulan. Tentu pemda nantinya akan merumuskan batasan yang baru, yakni mana saja yang dikenakan wajib pajak. Yang perlu dipahami pelaku usaha adalah tidak akan dikenai secara dobel. Sebetulnya yang dikenakan pajak itu konsumennya, bukan pelaku usahanya,” terangnya.
Dalam sosialisasi itu, ada usulan terkait dispensasi bagi pelaku usaha yang baru merintis bisnisnya. “Ya, sedikit merasa terbebani. Baru mulai sudah ditarik pajak. Saya harap ada dispensasi untuk pengusaha baru,” ungkap Andri, pemilik salah satu coffee shop di Pasar Kliwon.
Perwakilan Diamond Restaurant, Rizal berharap kalaupun ada pemberian dispensasi, tentu harus bisa dilakukan secara merata. Baik pelaku usaha yang baru, ataupun yang sudah lebih dulu terjun ke bisnis restoran. “Alangkah lebih baik kalau dispensasi ini diterapkan merata, bukan tanpa membedakan mana yang baru dan mana yang lama,” harap Rizal.
Sosialisasi ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembayaran pajak. “Jika merujuk pada perda saat ini, yakni Perda 11 Tahun 2018, tentu bisa di pidanakan dengan hukuman kurungan selama satu dan dua tahun. Bukan hanya itu saja, mereka juga akan dikenakan dengan denda dua hingga empat kali lipat. Karena itu, sosialisasi itu sangatlah penting,” tegas Jaksa Pengacara Negara Kejari Surakarta Wahyu Darmawan. (ves/nik/dam)